Oleh : Asmat Riady Lamallongeng
ManurungE
ri Matajang Raja Bone- I yang digelar Mata Silompo’E (mata seluas
lapangan) karena memiliki kemampuan untuk menebak jumlah orang yang
sedang berkumpul disuatu lapangan (Bugis ; lompo’) tanpa harus
menghitungnya lebih dahulu. Selama ini Raja Bone – I yang diperkirakan
memerintah dari tahun 1326 – 1358 itu, tidak diketahui tentang siapa
namanya dan dari mana asal usulnya, termasuk siapa nama ayah dan ibunya.
Para penulis lontara’ (catatan yang tertulis diatas daun lontar)
melukiskan secara ragu-ragu, begini ; “Nariaseng gare’ manurung nasaba
tenrisseng apolengenna – tenrissetto inanna amanna” (Konon dikatakan
manurung sebab tidak diketahui asal usulnya dan tidak diketahui ayah dan
ibunya).
Sesuai
dengan stadia berpikir dan sistem kepercayaan saat itu, memang bisa
saja menimbulkan pemahaman dalam masyarakat bahwa “to manurung” (orang
yang turun dari langit) atau “to tompo’” (orang yang muncul dari bawah)
adalah titisan dewata yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang
biasa. Pemahaman seperti itu menjadi legitimasi bagi sosok “to manurung”
atau “to tompo’” untuk mendapat perlakuan yang istimewa. Dihormati
dengan pengakuan; “angikko kiraukkaju – riyako miring riyakkeng
mutappalireng” (anginlah engkau dan kami semua daun kayu, kemana engkau
berhembus kesana pula kami terbawa), hingga akhirnya diangkat
menjadi pemimpin (raja). Pada saat itu, membicarakan sosok “to
manurung” atau “to tompo’” merupakan hal yang dianggap sangat tabu dan
sakral. Seperti dapat kita lihat pada rata-rata pembukaan “lontara” yang
selalu diawali dengan kata-kata ; “Aja’ kumabusung – aja’ kumatula –
aja’ kukapapa – rampe-rampe aseng to senrima” (Janganlah aku tercelah –
janganlah aku terkutuk – janganlah aku terhina – menyebut nama orang
yang mulia ).
Pemahaman
seperti itu, sepertinya membatasi cara berpikir sebahagian besar orang
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat selama berabad-abad. Para peneliti
sejarah kelihatannya ikut hanyut dengan pemahaman yang keluar dari
sebuah wilayah yang bernama logika dan tidak memiliki kemampuan untuk
menggeliat lepas dari kisah-kisah “to manurung” atau “to tompo’” yang
penuh dengan mitos dan legenda.
Padahal
kehadiran “to manurung” dan “to tompo’” baik pada masa Galigo maupun
pada masa lontara’, adalah matarantai lahirnya pemimpin-pemimpin yang
kharismatik dan berwibawa serta terciptanya sistem pemerintahan yang
demokratis di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sejak awal abad – XIV
hingga masa kemerdekaan. Pengakuan tentang “to manurung”
atau “to tompo’” menurut hemat penulis, bukan saja harus dalam bentuk
keyakinan bahwa sosok tersebut adalah titisan dewata yang turun dari
langit atau muncul dari bawah (uri’ liung). Tetapi dengan mengakui
kehebatan, kecerdasan dan keberaniannya yang melebihi manusia lain,
sudah menggambarkan betapa tinggi penghormatan yang diberikan kepadanya.
Bertolak
dari sebuah logika bahwa tidak akan pernah ada manusia yang mendapat
justifikasi keistimewaan turun dari langit atau muncul dari bawah,
penulis mencoba membangun analogi tentang siapa sesungguhnya ManurungE
ri Matajang Mata Silompo’E yang diangkat oleh orang Bone sebagai Mangkau
– I. Dalam hubungan ini, adalah menarik untuk ditelusuri
pendapat Prof. Mr.DR. Andi Zainal Abidin dalam bukunya; “Capita Selecta
Sejarah Sulawesi Selatan” yang mengatakan bahwa besar sekali kemungkinan
seluruh raja-raja di Tana Bugis adalah seketurunan dengan raja-raja
Kedatuan Cina, oleh karena adanya kesamaan konsep kekuasaan, mitos
politik To Manurung, sistem, struktur pemerintahan dan hukumnya. (Andi
Zainal Abidin, 1999; 69).
Dibahagian
lain tulisan Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa Bone, Soppeng,
Sidenreng, Suppa, Sawitto, muncul pada awal abad –XIV yakni kurang lebih
400 tahun sesudah kedatuan Tana Ugi yang bernama Cina terbentuk (Andi
Zainal Abidin, 1999;68).
Jadi
mengacu kepada perkiraan itu, maka Kedatuan Cina (Cina Riaja di Pammana
Wajo dan Cina Rilau di Bone) yang raja pertamanya adalah La Sattumpugi
dapat dikatakan terbentuk apad abad – IX. Perkiraan ini
diperkuat oleh sejumlah lontara’ yang menyebutkan bahwa sebelum
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (Bone, Soppeng, Sidenreng, Wajo
dan lain-lain) terbentuk, hanya dikenal beberapa kerajaan seperti
seperti ; Tompo Tikka, Luwu, Cina, Wewang Riwu, Gowa, dan
Siang. Untuk wilayah-wilayah yang kemudian masuk dalam Kerajaan Bone,
seperti ; Lamuru, Lamoncong, Palakka, Babauwae yang wilayahnya
membentang sepanjang bantaran sungai Cenrana sampai Bola (Wajo
sekarang), Lapakkang Riawang yang kemudian menjadi Awangpone, Mampu dan
Wawo Lonrong, merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat.
Menurut
Andi Zainal Abidin, suatu ketika mungkin diorganisir oleh satu rezim
yang didorong motivasi tertentu, sehingga kerajaan dibagi-bagi dan
disebarkan keberapa tempat, sehingga lahirlah beberapa kerajaan baru
yang bersumber dari Kerajaan Cina. Mengkaji rumus perjanjian antara To
Manurung dengan rakyat yang bersedia menerimanya sebagai datu atau raja
pada semua kerajaan yang baru muncul (dalam abad –XIV itu), mirip sama
atau berpola dari To Manurung pertama di Cina.
Berdasarkan
keterangan-keterangan Andi Zainal Abidin diatas, membuat penulis
semakin yakin dan termotivasi untuk melakukan penelusuran berbagai
sumber informasi baik lontara’ maupun cerita rakyat yang ada hubungannya
dengan kisah munculnya ManurungE
ri Matajang Mata Silompo’E Raja Bone – I yang memerintah dari tahun
1326 – 1358 itu. Sejumlah sumber informasi berupa lontara’ yang
ditelusuri oleh penulis, salah satu diantaranya yaitu ; “Lontara
Akkarungeng” yang memuat tentang kisah kehadiran To Manurung di
Ajattappareng, Sawitto, Bone, Lompo’ dan Sekkanyili (Soppeng),
menyebutkan bahwa Arumpone – I itu bernama La Ubbi.
Dibawah ini penulis tampilkan cuplikan dari Lontara’ Akkarungeng tersebut ;
“Setelah
Pua’juru (orang pintar) melakukan berbagai ritual, para bissu –
maddanging ranging – (memohon kepada Dewatae), tiba-tiba terjadi guntur
dan kilat disertai angin kencang, selama kurang lebih tujuh hari tujuh
malam gelap gulita. Pada saat itu dimunculkanlah Arumpone yang bernama La Ubbi.
Diikuti seorang laki-laki pembawa payung emas dan seorang lagi pembawa
salenrang (puan). Muncul pula CilaongngE di Matajang dengan busana serba
putih, sedangkan La Ubbi beserta pengikutnya berbusana
serba kuning. Dalam berbagai sumber menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan CilaongngE adalah Matowa Ciung (Bukaka) yang dalam
lontara’ Sinjai dikatakan bahwa anak Matowa Ciung kawin dengan La Ummasa
Petta Panre BessiE Raja Bone –II yang memerintah dari tahun 1358 -
1424.
Pada
mulanya orang banyak hanya melihat orang yang berbusana serba putih,
mereka tidak melihat orang yang berbusana serba kuning. Lalu orang
banyak mendatangi orang berbusana serba putih, karena disangkanya “to
manurung”. Tetapi orang yang berbusana serba putih tersebut, berkata ;
“Saya bukan arung (raja), tetapi kalau kalian benar-benar mau mengangkat
arung (raja), ada arung (raja) saya ManurungE ri Latoro. Saya bisa
menemani kalian kesana” Orang banyak setuju untuk ditemani, lalu mereka
berangkat ke Latoro ditemani oleh CilaongngE ManurungE ri Matajang yang
berbusana serba putih.
Sesampainya di Latoro, ditemukanlah ManurungE (La Ubbi) sementara duduk ditempat duduknya. Bertanyalah ManurungE (La Ubbi)
kepada CilaongngE ; “Ada apa Cilaong ?” Lalu CilaongngE menjawab ;
“Saya menemani hambamu, orang Bone”. Lalu duduklah orang banyak
menyembah kepada ManurungE (La Ubbi) yang berbusana serba kuning. Bertanyalah ManurungE (La Ubbi)
kepada orang banyak ; “Apa maksud kalian sehingga datang ke tempat ini
?” Orang banyak menjawab ; “Rara’ palekku Lapuang – awang lasuna
pangemmerekku – masenne’ baba – mawampang lila – tekkumatula baliyo ada –
apa utanri aju sengkona siasemmue” (Gemetar tanganku, Puang – tipis
sekali nyaliku – tercabik mulutku – kaku lidahku – semoga kami tidak
terkutuk menjawab pertanyaanmu – sebab kami telah melupakan yang
menyamaimu).
“Kami
semua ini adalah hambamu, orang Bone. Rajalah engkau dan kami semua
adalah hambamu. Kami ingin diselimuti agar tidak kedinginan, dijaga agar
tidak bercerai – berai, dinaungi agar tidak kepanasan, anginlah engkau
dan kami semua daun kayu, kemana engkau bertiup kesana pula kami
terbawa, kehendakmu dituruti, kata-katamu dibenarkan, walau anak isteri
kami engkau mencelahnya kamipun mencelahnya, walau putih dan engkau
mengatakan hitam, kamipun mengakuinya”
ManurungE menjawab ;
“Wahai
orang Bone, kalau engkau tidak menipuku, akupun tidak akan menipumu,
engkau tidak mencampakkan diriku, akupun tidak akan mencampakkanmu,
engkau tidak mengingkari janji, akupun tidak akan mengingkari janji.
Wariskan kepada anak cucumu dan akan kuwariskan kepada keturunanku.
Barang siapa yang mengingkari janji, dialah yang termakan sumpah, tidak
akan mendapat kebaikan keturunannya”.
Sepakatlah orang banyak dengan ManurungE (La Ubbi) untuk tetap berpegang pada janji yang telah diucapkannya. Suatu saat orang Bone bermaksud mencarikan ManurungE (La Ubbi) permaisuri sebagai pendamping. Tetapi ManurungE (La Ubbi)
menolak dengan alasan bahwa ada sepupu satu kalinya yang ditunggu dari
Baba UwaE. Maka setelah sepupu satu kalinya tersebut muncul dari Uri
Liung di Baba UwaE, berangkatlah kesana untuk mengawininya. Dari
perkawiannya itu, melahirkan empat anak, dua laki-laki dan dua
perempuan, yaitu ; 1) La Wajo Langi, inilah yang menyeberang ke Butung, 2) La
Raja Langi, inilah yang kawin di Cinnottabi dengan We Tenri Sui. Dari
perkawinannya itu, melahirkan anak tiga ; - La Patiroi, - La Patongai,
dan – La Pawawoi. Sedangkan anak perempuannya bernama ; 1) We Samakella – Arung Mampu, 2) We Pattanra Wanuwa – Arung Palakka.
Informasi lain (lontara akkarungeng Bone) menyebutkan ;
“Arung Tanete Riawang bernama La Tenri Tompo’ yang mula-mula mendirikan Bone, dua bersaudara, yaitu
La Mata Silompo’ dialah yang muncul di Matajang. Mengacu kepada catatan
ini, berarti Bone sudah terbentuk sebelum munculnya ManurungE ri
Matajang. Tentang apa arti “bone” yang sampai hari ini masih sering
menjadi perdebatan, memang masih perlu penelusuran yang lebih mendalam.
Sebab dalam kamus bahasa Bugis, kata “bone” berarti tumpukan pasir.
La
Tenri Tompo’ kawin dengan We Delu’ Lino di Cempalagi, melahirkan We
Pattola (perempuan). We Pattola kawin dengan La Padawarani, melahirkan
We Batara. Selanjutnya We Batara kawin di Balubu dengan La Palippui,
melahirkan anak dua ;
1. We Mallagenni, 2. We Tenri Ola.
We Tenri Ola kawin di Baringeng, sedangkan We Mallagenni kawin di Wajo, melahirkan anak laki-laki dua ;
1. Puang Lungka (disebut Puang Lungka karena jari tengahnya panjang), inilah yang menjadi Datu di Cempalagi.
2. Puang Tappe (disebut Puang Tappe karena seluruh jari-jarinya sama panjang), inilah yang membuka Lonrong.
Berdasarkan catatan ini, maka timbul pertanyaan bahwa apakah La Mata Silompo itu juga yang bernama La Ubbi
yang dalam berbagai lontara disebut sebagai Datu Baba UwaE ? Rupanya
memang memerlukan penelitian yang lebih mendalam, sebab dalam lontara
Wajo ditemukan bahwa La Ubbi yang kawin dengan anak
ManurungE ri Baba Uwae yang bernama We Tenri Namoreng, adalah anak La
Dewata I Tomangkau Raja Wewang Riwu dengan isterinya yang bernama Sompa
Ritimo. Sedangkan La Dewata I Tomangkau adalah anak dari Tejjo Risompa
Batara Wewang (pendiri Wewang Riwu) dengan isterinya PolawengE
Tojampulaweng ri Tompo’tikka. Tejjo Risompa Batara Wewang bersaudara
dengan We Datu Sengngeng, We Yaddi Luwu dan We Tenriabang. Ini berarti
bahwa Tejjo Risompa adalah anak La Urumpessi dengan isterinya We Pada
Uleng Passaikke BajabajaE. We Tenriabang adalah isteri La Sattumpugi
Datu Cina pertama atau Datunna Tana Ugi.
Sementara
dalam lontara’ yang membicarakan tentang ManurungE ri Mampu menyebutkan
bahwa salah satu anak La Oddang Patara dengan isterinya We Lele Ellung
yang tersisa dari malapetaka (lebbo’) Mampu yaitu La Ureng Riwu kawin di
Awampone dengan saudara perempuan La Raja Langi yang bernama We
Samakella. Dari perkawinannya itu, melahirkan ; 1. La Pariusi Arung
Sijelling, 2. We Sengempulu Arung Mampu Riaja, 3. We Samaulu Arung Mampu
Riawang dan We Temmarowe Arung Kung. Dalam catatan diatas disebutkan
bahwa La Raja Langi, We Samakella, adalah anak La Ubbi.
Kalau informasi ini benar, maka jelas bahwa ayah La Ubbi yaitu
La Dewata I Tomangkau sezaman dengan La Oddang Patara yaitu anak
ManurungE ri Mampu. Adapun ManurungE ri Mampu yang bernama Guttu
Tellemma kawin dengan We Sengngeng Talaga, melahirkan La
Oddang Patara. Selanjutnya La Paturungi kawin dengan We Sinrang Langi,
melahirkan We Lele Ellung. Kedua pasang To Manurung tersebut melakukan
perkawinan silang, yaitu Guttu Tellemma bersaudara dengan We Sinrang
Langi, sedangkan La Paturungi bersaudara dengan We Sengngeng
Talaga.Dalam lontara’ Mampu disebutkan kedua pasang tersebut muncul
dibukit yang bernama Lapakkang Riawang.
Kembali kepada Puang Tappe, yang
mula-mula membuka Lonrong, kawin dengan Punna Liung dan melahirkan La
Tenri Petta yang mula-mula membuka Ara. La Tenri Petta dikenal sebagai
orang kaya, semua pakaiannya indah-indah dan memiliki lebih seratus
orang pengambil airnya. La Tenri Petta memiliki empat
orang anak ; - La Temmattola, - We Temmangengnge, - La Sabbamparu dan –
La Wajo Langi. La Sabbamparu dijadikan sebagai anak angkat
oleh Datu Luwu di Cenrana, tetapi karena disangka “malaweng” (melakukan
hubungan asmara dengan saudara kandungnya yaitu We Temmangengnge), maka
disuruh bunuh oleh Datu Luwu. La Sabbamparu inilah yang memiliki
alameng Lateya Riduni. Dengan demikian berselisihlah Datu Ara (La Tenri
Petta) dengan Datu Luwu di Cenrana.
La
Temmattola kawin dengan We Lulumparu saudara perempuan La Kelasse. We
Temmangengnge yang menginginkan menjadi Arung Baba Uwae, sehingga timbul
perselisihan antara keluarganya. Karena terdesak,dia mengungsi ke Bone
disebelah timur Laccokkong. Setelah cukup empat tahun ditempat itu,
diusir lagi oleh orang Ara sehingga ia mengungsi ke Salomekko. Dua malam
di Salomekko, berpisahlah dengan La Kelasse, We Temmangengnge ke Raja,
sementara La Kelasse ke Lamatti.
La Kelasse dengan isterinya (tidak disebut namanya) melahirkan anak laki-laki dua yaitu ; 1) La Tenriaji, 2)
La Tenri Wasung. La Tenri Wasung kawin di Caubalu dan menjadi Arung
Caubalu (Cabalu). Sementara La Tenriaji kembali ke Baba UwaE. Karena
orang Baba UwaE tidak mau diperintah oleh “cera”, maka anak La Tenriaji
yang bernama La Lopu tidak diterima menjadi Arung Baba UwaE. Oleh karena
itu, La Tenriaji kawin dengan We Tenri Lallo di Baba UwaE dan
melahirkan anak tiga, dua laki-laki dan satu perempuan, yaitu ; 1) La Pattikkeng (La Pattingki), 2) La Pattelle, 3) We Pettalela.
La
Pattikkeng (La Pattingki) yang dalam lontara’ Bone disebutkan sebagai
Matowa Palakka, kawin di Matajang dengan We Pattanra Wanuwa anak
ManurungE ri Matajang Mata SilompoE. Dari perkawinannya itu melahirkan anak empat, yaitu ; 1) La Saliyu Karampeluwa, 2) We Tenri Roro, 3. We Tenri Peppang, dan 4. We Tenri Lengoreng.
Catatan
ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa antara La Pattikkeng (La Pattingki)
Matowa Palakka dengan We Pattanra Wanuwa yang kemudian melahirkan La
Saliyu Karampeluwa Raja Bone – III (1424 – 1496), masih memiliki
pertalian keluarga yang sangat dekat. Dari gambaran diatas, dapat
diperkirakan bahwa La Pattikkeng (La Pattingki) adalah anak sepupu dua
kali We Pattanra Wanuwa.
Wallahu a’lam – Salama’ temmareulle !!!
--------------------------