Sejarah Kerajaan Bone
Catatan :Disadur dari Lontara’ Akkarungeng ri Bone, milik Drs. A. Amir Sessu Mantan KASI KEBUDAYAAN
KANDEPDIKBUD Kab. Bone yang diterbitkan dengan biaya Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan tahun 1985.
Oleh : Drs. Asmat Riady Lamallongeng
1. MANURUNGE RI MATAJANG MATA SILOMPOE (1326 – 1358)
Dalam lontara’ tersebut diketahui bahwa setelah habisnya turunan Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan
negeri-negeri diwarnai dengan kekacauan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya arung (raja) sebagai pemimpin yang
mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang kelompok-kelompok anang (perkauman) yang
berkepanjangan (Bugis = Sianre bale).
Kelompok-kelompok masyarakat saling bermusuhan dan berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai kelompok
yang lemah dan memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang demikian itu, dalam Bahasa Bugis disebut
SIANRE BALE (saling memakan bagaikan ikan). Tidak ada lagi adat istiadat, apalagi norma-norma hukum yang dapat
melindungi yang lemah. Kehidupan manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa satu
sama lain.
Menurut catatan lontara’, keadaan yang demikian itu berlangsung kurang lebih tujuh pariyama lamanya. Menurut
hitungan lama, satu pariyama mungkin sama dengan 100 tahun. Jadi kalau mengacu pada perhitungan ini maka dapat
dipastikan bahwa turunan Puatta MenreE ri Galigo telah hilang 700 tahun yang lalu. Bone dan negeri-negeri sekitarnya
mengalami kekacauan yang sangat luar biasa. Wallahu a’lam bissawab.
Adapun awal datangnya seorang arung (raja) di Bone yang dikenal dengan nama ManurungE ri Matajang Mata
SilompoE, ditandai dengan gejala alam yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat,
kilat dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras.
Setelah keadaan itu reda dan sangat tak terduga, tiba-tiba di tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri
dengan pakaian serba putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka orang menyangkanya To Manurung
yaitu manusia yang turun dari langit. Orang banyak pun pada datang untuk mengunjunginya.
Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai To Manurung adalah untuk mengangkatnya menjadi arung
(raja) agar ada yang bisa memimpin mereka. Orang banyak berkata ; ”Kami semua datang ke sini untuk meminta
agar engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi
arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela,
kami pun mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab ; ”Bagus sekali maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa
saya tidak bisa engkau angkat menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi
kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata ; ” Bagaimana caranya kami mengangkat seorang arung yang kami belum
melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab ; ”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang arung , saya
akan tunjukkan tempat – matajang (terang), disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata ; ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang arung, kami semua berharap agar engkau
dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari Bukaka), mengantar orang banyak
tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).
Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Guntur dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan
deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah To Manurung yang
sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga
orang yaitu ; satu orang yang memayungi payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang
membawa salenrang.
To Manurung berkata ; ”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab ; ”Iyo, Puang”.
LEMBAGA SENI BUDAYA TELUK BONE
http://www.telukbone.org/ Menggunakan Joomla! Generated: 17 October, 2009, 05:07
Barulah orang banyak tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar
orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada To Manurung ; ”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau
menetap. Janganlah lagi engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi
arung. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun
mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
To Manurung menjawab ; ”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara To Manurung dengan orang banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk
dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya
ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui
jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE.
ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi Mangkau’ (raja) pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian
kawin dengan ManurungE ri Toro yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We
Pattanra Wanuwa, lima bersaudara.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah –
mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), meredakan pula segala bentuk kekerasan dan telah
lahir yang namanya bicara (adat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama
WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ;
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah
nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri
Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula
menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran. Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa
menggantikannya sebagai arung (Mangkau’) di Bone.
Thx For Grandfather "Drs. Asmat Riady Lamallongeng"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar